Search This Blog

Napak Tilas 611 Tahun Laksamana Tiongkok di Festival Cheng Ho Semarang (1)

Metrotvnews.com, Semarang: Rangkaian tradisi perayaan 611 tahun Admiral Zheng He, atau yang lebih sering disebut Laksamana Cheng Ho, tahun ini lebih seru. Kali ini, acara tersebut diawali dengan diskusi bertajuk "Fasilitasi Pengembangan Wisata Sejarah dan Religi" yang bisa merefleksi publik akan sejarah dan pengaruh budaya Tiongkok yang terasa sampai sekarang.

Staf Ahli Bidang Multikultur Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Hary Untoro mengatakan bahwa untuk memahami sejarah Cheng Ho haruslah kontekstual, bahkan ia menyebut konteks lebih penting dari konten.

"Memahami sejarah Cheng Ho itu harus kontekstual. Harus penuh pemaknaan, menengok masa lalu, melihat fakta saat ini, dan memproyeksi masa depan. Bukan hanya text book dan literasi saja," kata Hary di hadapan para peserta diskusi yang terdiri dari sejarawan, budayawan, akademisi dan lainnya saat membuka acara diskusi.

Diskusi yang diisi 3 pemateri itu cukup inspiratif. Mereka adalah Taufik Rahzen yang menjelaskan soal Implikasi Cheng Ho dan Warisan Budaya, Remy Silado berbicara mengenai Interpretasi Jalur Samodra Cheng Ho sebagai Daya Tarik Wisata Budaya, serta salah seorang tokoh komunitas Kopi Semawis Harjanto Halim yang bertutur perihal akulturasi budaya Tiongkok Jawa di Semarang. 

Diskusi berlangsung atraktif dan penuh pro kontra. Hal yang menarik adalah paparan dari Harjanto Halim yang juga Ketua Komunitas Pecinan. Pada saat mempresentasikan materinya, dia membawa sapu lidi, celana sarung, baju merah motif Tiongkok dan serban Arab. 

"Sapu lidi ini akan dipakai oleh sekitar 50 orang anggota Kopi Semawis untuk ikut menjadi penyapu di depan arak-arakan Karnaval Cheng Ho dari Klenteng Tay Kak Sie di Gang Pinggir, ke Klenteng Sam Poo Kong di Gedung Batu, Simongan, Semarang. Konon, ini punya makna, punya filosofi. Yakni untuk membersihkan diri dari segala sengkolo atau hambatan dan persoalan hidup," papar Halim.

Lebih dari itu, Halim juga menjelaskan mengenai Pasar Gang Baru, Pasar Tradisional dan tempat favorit di Pecinan yang direlokasi untuk pemukiman orang Tionghoa sejak tahun 1741 oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

"Dulu mereka berada di Simongan, tidak jauh Sam Poo Kong, tetapi dipindahkan ke tempat semula, yakni di satu wilayah yang dekat Kota Lama, markasnya Belanda, agar mudah memantaunya. Sampai sekarang pasar Gang Baru ini menjadi pasar tradisional paling hidup budayanya," kata Halim.

Segala masakan yang berbasis di Tiongkok, sambung Halim, banyak ditemukan di sini, karena awalnya memang dari sini. Misalnya saja Loenpia atau sering disebut dengan lafal Jawa Lumpia, kue moci, wingko babad dan masih banyak lagi. 

Halim juga melihat akulturasi kuat di kesenian, seperti liong dan barongsai yang selalu tampil bersama dalam satu panggung dengan Warak Ngendok. Warak itu, simbol akulturasi, patung binatang berkepala singa, melambangkan Tiongkok, berleher panjang menyimbolkan Arab dan bertubuh seperti kambing, yang merupakan representasi Jawa. Tiga kebudayaan yang mempengaruhi Kota Semarang dengan sangat kental.

"Dan itu hanya keluar saat sebelum bulan puasa tiba, diarak dalam sebuah karnaval juga sampai ke Masjid Alun-Alun Pasar Johar," kata Halim yang juga pemilik Sekolah Karang Turi, Semarang itu.

Menariknya lagi, tiap malam Minggu dan Minggu malam, terdapat street food di sepanjang jalan Pecinan, Semarang. Di sana dijual segala jenis makanan dan tentu saja menggugah selera. Tempat makan yang mirip Shilin di Taiwan itu sudah hidup sejak lama, dan konsumen atau penikmat warung yang menutup jalan di kota Pecinan lama itu kebanyakan puas dengan cita rasa yang ditawarkan. "Pintu gerbangnya sudah menggunakan ornamen Tiongkok, sumbangan Kemenpar," kata Halim.

Ketua Yayasan Sam Poo Kong, Mulyadi juga membenarkan paparan Halim. Menurutnya akulturasi juga bisa dia lihat di klenteng Sam Poo Kong. Saat Festival Cheng Ho yang dipusatkan di klenteng itu, ribuan manusia berjubel di sana. Bahkan orang selalu nampak datang dan pergi hingga tengah malam, mereka berbaur antara yang menonton pertunjukan kolosal di pelataran tinggi di depan klenteng, dan mereka yang hendak berdoa.

"Para pengunjung menyatu saling hormat, saling berbagi, dan semuanya menikmati dengan tertib dan baik," kata Mulyadi.

Even tahunan perayaan napak tilas Laksamana Cheng Ho, yang dikemas dalam Festival Budaya Cheng Ho di Semarang ini akan berlangsung Sabtu 30 hingga Minggu 31 Juli 2016. Sabtu malam, pukul 00.00 dirayakan dengan pesta kembang api di kompleks Sam Poo Kong.

Kegiatan yang dilaksanakan antara lain ritual sembahyangan, malam budaya, seminar dan business meeting, serta kirab budaya dari Klenteng Tay Kak Sie ke Klenteng Sam Poo Kong. Kirab pagi ini Minggu, 31 Juli berlangsung meriah. Ribuan warga antusias membawa patung besar Cheng Ho sejauh 6 kilometer dari klenteng di Gang Pinggir, ke klenteng Sam Poo Kong. Perayaan kirab ini memperlihatkan bagaimana perjalanan Laksamana Cheng Ho dengan armadanya secara detail, termasuk kisahnya saat memutuskan singgah di Semarang.

Cheng Ho bukan hanya tokoh penjelajah Bumi yang mashyur, namun juga seorang penyebar agama Islam yang disegani. Namanya sangat legendaris di tengah-tengah peranakan Tionghoa. Jejak Cheng Ho di Semarang sangat mendalam karena konon keturunan Tionghoa di Indonesia telah bekerja susah payah bersama pribumi untuk membangun Kota Semarang.

Tidak hanya itu, ekspedisi Cheng Ho secara garis besar juga berbuah persahabatan dan ilmu pengetahuan. Pada saat kirab berlangsung, para etnis Tionghoa dapat ikut sembahyang di altar besar Sam Poo Kong ataupun meminum air suci di goa petilasan tersebut. "Saya senang, masyarakat senang, prosesi bagus sesuai rencana, masyarakat terhibur, sudah saatnya destinasi seperti ini dipromosikan ke mana-mana," ungkap Harry Untoro Drajat.

Sementara itu, Menpar Arief Yahya sering menyebut cultural value dan commercial atau financial value. Sejarah yang dipelajari sebagai ilmu, silakan saja, menjadi science dan cultural value. Tetapi di Pariwisata, sejarah bisa dikemas menjadi atraksi Pariwisata yang menarik setelah digabungkan dengan artefak, bukti peninggalan zaman purbakala, dan legenda atau cerita rakyat yang sudah dipercaya dari mulut ke mulut.

"Sejarah bisa dikemas dalam story line yang membuat orang terpikat untuk datang, karena kekuatan cerita. Cerita yang berbasis sejarah, baik itu fiksi maupun non fiksi, bisa menjadi atraksi pariwisata yang khas. Menjadikan sejarah masa lalu dengan segala peninggalan yang masih tersisa, itu punya sensasi yang kuat. "Itulah jawaban mengapa banyak museum di Eropa yang ramai dikunjungi orang. Cerita soal Manneken Pis di Brussels, patung bocah kecil setinggi 61 cm di perempatan jalan di Belgia itu kaya cerita dan membuat orang tertarik datang melihat sendiri patungnya," kata Menpar Arief Yahya.
Baca Berita Asal
Napak Tilas 611 Tahun Laksamana Tiongkok di Festival Cheng Ho Semarang (1)
Rona Kehidupan

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Napak Tilas 611 Tahun Laksamana Tiongkok di Festival Cheng Ho Semarang (1)"

Post a Comment

Powered by Blogger.